Jatuh (Cerita Pendek)

Herdy Almadiptha Rahman
2 min readDec 23, 2022

--

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyinari taman kota yang sepi di sore hari selepas hujan. Udara terasa sangat segar dan sejuk, sesekali terdengar suara burung berkicau di dahan pohon seolah menyambut langit malam yang cerah. Aku berjalan perlahan di jalan setapak taman, membawa tas hitam tergantung di tangan kananku yang mulai dihiasi banyak keriput.

Tiba-tiba sebuah batu yang sedikit menonjol lebih tinggi dari batu lain di taman itu menjadi gangguan yang berarti. Aku terjatuh dan tergeletak di tanah, kesakitan dan merintih. Beberapa orang yang sedang berjalan-jalan di taman itu kurasa berusaha mendekat untuk membantuku, di saat yang sama aku hanya bisa terus saja merintih dan tidak berbicara.

Setelah beberapa saat, kulihat seorang wanita tua datang dan menghampiriku. Diiringi dengan raut wajah penuh kekhawatiran, dengan sigap ia mendekatiku. Perlahan tapi pasti, wanita itu merangkulku dengan keyakinan utuh bahwa berat badanku sama sekali tidak jadi soal. Wanita tua itu ternyata istriku. Dengan tangan yang lembut, dia membantuku bangkit dan mengajakku berjalan pulang, sambil menikmati langit sore keemasan. Terlalu sulit untuk kusembunyikan; kurasa saat itu wajahku berubah menjadi merah padam dengan senyum tertahan, aku lega. Rasanya semua isu usia dan kelemahannya terangkat begitu saja, kapan pun saat bersama dia.

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyinari taman kota yang sepi di sore hari selepas hujan. Udara terasa sangat segar dan sejuk, sesekali terdengar suara burung berkicau di dahan pohon seolah menyambut langit malam yang cerah. Seorang lelaki tua tergeletak lunglai di tanah. Berat badannya yang terlampau ringan hampir-hampir membuat orang-orang di sekitarnya tidak menyadari kejatuhannya.

Ia menahan rasa sakit yang dideritanya sekuat yang ia bisa. Siapa sangka kalau perasaan lemah dan tak berdaya akan dirinya sendiri menjadi jauh lebih berbahaya ketimbang cedera fisik yang dideritanya akibat jatuh beberapa saat lalu. Tangan kanannya meraba-raba dengan cepat ke sekitarannya seolah mencari sesuatu yang amat penting. Tak lama berselang tas hitam yang ia bawa sebelumnya berhasil ditemukan, ternyata masih dalam jangkauan genggaman tangan kanannya.

Tas hitam itu memang wajib dibawa untuk keperluan ritual tiap Jumat sore yang ia rutinkan sejak sekitar tiga tahun lalu di taman itu. Isinya pun tak banyak, hanya satu album foto yang berisikan momen-momen penting ia dan keluarganya 40 tahun ke belakang. Tapi bagi seorang lelaki tuayang berat badannya sendiri saja sulit untuk ditopang tanpa bantuan, tas hitam berisi album ini betul-betul menambah beban.

Setelah beberapa saat, tubuhnya yang renta itu mampu dipaksakan untuk kembali berdiri sambil tetap menenteng tas hitam di tangan kanannya. Ia perlu untuk menuntaskan misinya sore itu. Untuk mengenang istrinya yang telah terlebih dahulu berpulang. Dengan wajah merah padam tanpa sebab dan senyum lembut terpampang anggun di wajah lelaki tua itu, ia melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak; sendirian, menopang seluruh tubuhnya yang renta, tas hitam, dan satu jilid kumpulan gambar penuh memori masa lalu di dalamnya.

--

--

Herdy Almadiptha Rahman
Herdy Almadiptha Rahman

Written by Herdy Almadiptha Rahman

Write about economics, technology, and sometimes literature

No responses yet